Sabtu, 09 November 2019

Studi Kasus Sengketa Tanah Adat


PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia. Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban umat manusia. Di mana tanah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan masalah-masalah transedental (Heru Nugroho, 2005 dalam Supriyanto, 2008: 1).
Berdasarkan uraian di atas maka tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris. Oleh karena itu setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Menyadari nilai dan arti penting tanah bagi kehidupan manusia, maka para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), yakni: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini menandakan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya secara adil. Namun amanat tersebut nampaknya saat ini sangat jauh untuk terpenuhi sebagaimana yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Meski tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, namun ternyata struktur kepemilikan tanahnya masih timpang. Sehingga tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak memiliki tanah. Ketimpangan atas pemilikan tanah inilah yang sering menimbulkan permasalahan tanah di negara agraria khusunya Indonesia yang menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya konflik agraria.
Bagi masyarakat Indonesia ketimpangan atas kepemilikan tanah masih kontraks terutama dalam hal pembangunan. Dimana, perkembangan masyarakat yang cukup pesat dan kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan luas tanah yang tidak pernah bertambah. Ketimpangan ini sangat kontras dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang rata-rata masih berada di bawah angka kemiskinan. Kenyataan ini tidak dapat dihindari karena tanah merupakan aset ekonomi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan bagi pemiliknya juga merupakan aset politik dalam pengambilan keputusan dimasyarakat. Tidak heran jika sekarang tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang ada didalamnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik agraria.
Selain konflik agraria, perebutan tanah adat terus terjadi dan masih terus berlangsung sampai sekarang ini. Ruwiastuti (2000) menyatakan bahwa sengketa-sengketa agraria yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat setempat di seluruh Indonesia adalah persengketaan mengenai penguasaan sumber-sumber ekonomi dan berpangkal pada budaya sehari-hari diyakini dan dijamin sebagai hak-hak adat mereka, seperti hutan-hutan perburuan, hutan-hutan belukar bekas ladang, padang-padang pegembalaan ternak, dan ladang-ladang tanaman semusim.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.        Mengapa terjadi Sengketa Tanah Adat antara masyarakat dengan Pemerintah Kab. Sinjai?
2.        Bagaimana bentuk perlawanan masyarakat terhadap Pemerintah dalam sengketa Tanah adat di Kab. Sinjai?

PEMBAHASAN
1.                       Sengketa Tanah Adat di Indonesia
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dalam Pasal 5 : Menyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, ialah hukum adat. Dan dalam pasal 17 adanya pengakuan sistim kepemilikan tanah secara bersama/komunal, namun pemberlakuan hukum adat tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa artinya, bila kepentingan bangsa menghendaki, hukum adat dapat saja dikalahkan. Dalam hal ini perubahan masyarakat hukum adat dipengaruhi oleh politik hukum pemerintah, tanpa dipengaruhi hukum pun masyarakat akan mengalami perubahan baik secara cepat maupun secara lambat artinya tidak ada ataupun masyarakat yang statis (berhenti) pada suatu titik tertentu di dalam perkembangannya.
Konsep penguasaan tanah dalam sistem ini berdasarkan hak ulayat, yaitu suatu hak masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar serta ke dalam. Dalam cakupan hak ulayat ini terdapat hak individual atas tanah yaitu hak yang lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah (kosong). Hubungan antara hak ulayat ( yang dimimiliki oleh masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan ) dengan hak individual merupakan hubungan yang lentur/fleksibel (Afrizal, 2006).
Bagi masyarakat tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang bersifat kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan apapun, di samping itu tanah berfungsi sebagai tempat tinggal bagi warga masyarakat dan tempat mereka mencari kehidupan dan sebagai tempat nantinya di mana mereka akan dikuburkan kalau meninggal dunia. Oleh karena itu tanah adat erat kaitanya dengan kewenangan dari masyarakat adat itu sendiri untuk menguasai tanah adat (tanah ulayat) tersebut. Karena tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris, maka setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Fenomena yang terjadi saat ini di masyarakat bahwa memang banyak terjadi masalahmasalah sosial seperti adanya sengketa tanah. Sengketa tanah ini terjadi dalam tiga golongan yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis (pengusaha). Mereka memperebutkan sumber-sumber agraria yang dapat berupa lahan , bahan tambang, dan sumber air. Perebutan tersebut menampilkan isu-isu hak-hak masyarakat setempat terhadap sumber-sumber agraria berlawanan dengan hak-hak negara.
Masing-masing pihak mengklaim bahwa sumber-sumber agraria milik mereka. Hal itulah mengakibatkan terjadinya perlawanan antara masyarakat setempat dengan pemeritah. Dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dengan cara tidak saling dirugikan atau diuntungkan salah satu pihak, baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat atau singkatnya harus menemukan solusi yang baik dari berbagai pihak. Namun fakta yang terjadi dilapangan bahwa perebutan tanah tersebut akan dimenangkan oleh pihak yang memiliki modal atau berkuasa.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan.
Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal, pengembang perumahanperumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Penggusuran tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan negara atas nama pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan kepentingan individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut biasanya dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak adil bagi pemilik tanah.
Hasil penelitian Suardi (2004) menunjukkan bahwa adanya konflik agraria yang terjadi dilatarbelakangi oleh keadaan yang dia jelaskan sebagai berikut; pertama, terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang cukup tajam pada dua desa penelitian. Kedua, perlawanan petani muncul yang disebabkan beberapa faktor; (a) kebijakan disektor perkebunan yang cenderung lebih menguntungkan pemilik modal besar, (b) kapitalisasi sektor perkebunan menyebabkan disatu pihak terakumulasinya tanah di bawah penguasaan pemilik modal besar, di sisi lain petani menjadi termarginalkan, (c) kondisi social ekonomi petani yang buruk karena tanah sebagai sumber mendapatkan nafkah hidup penguasaannya didominasi oleh sekelompok kecil pemilik modal. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan \ bahwa perlawanan petani di dua Desa didasari keinginan melepaskan diri dari keadaanya yang subsistens akibat ketidakadilan struktur agrarian dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya.

Sengketa, konflik dan perkara pertanahan sepertinya tidak pernah surut, bahkan cenderung terus meningkat baik intensitas maupun keragamannya, seiring dengan semakin sulitnya akses untuk memiliki tanah dan bertambahnya kesenjangan posisi tawar-menawar antara ketiga aktor pembangunan yakni pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
Penyebab permasalahan tentang sengketa tanah tidak tuntas atau tidak terselesaikan di karenakan penanganan persoalan yang kurang tepat atau tidak tuntas pada masa yang lalu. Di samping kenaikan harga tanah yang meningkat menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tanpa didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi bertambah rumit bila ada campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Masalah akan sulit diselesaikan apabila para pihak merasa paling benar dan tidak mau bermusyawarah.
Di tambah lagi sebagian besar persoalan yang muncul berkaitan dengan kasus-kasus pertanahan (khususnya tanah perkebunan) di seluruh Indonesia disebabkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa perkebunan dengan masyarakat yang bermukim di sekitarnya dan disertai adanya intervensi negara yang masih dominan didukung pula dengan perlakuan yang represif dari militer dengan dalih “demi dan atas nama” stabilitas nasional.
Kondisi sebagaimana gambaran di atas sebenarnya bukan suatu hal yang baru tetapi merupakan sebuah problem yang sudah lama ada, akan tetapi baru pada saat sekarang ini nampak mengedepan, karena faktor kebebasan dan euphoria yang berlebihan dari perubahan rezim yang awalnya otoriter ke rezim yang lebih longgar.
Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusya problem pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya menyisakan problem yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang, yakni pertama, masih cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini belum ada penjabaran yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah. Kedua, ada juga UU pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999 (LN. 167 tahun 1999), yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan besar loging kayu hutan alami dimana jelas ada intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh penduduk pribumi (woeste gronden)( Pelzer, 1991:10).
Oleh karena itu, dalam pandangan teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (Wikipedia, 2015)).
Teori konflik menegaskan bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan pandangan di antara beberapa tokoh. Dahrendorf meskipun menerima teori konflik Karl Marx mengenai pertentangan klas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Namun dia memodifikasinya berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.

Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan klas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan klas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran klas. Klas yang dimaksud adalah klas yang berkuasa dan dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan (Wikipedia 2015).
Dahrendorf melihat bahwa terbentuknya klas sosial tidak selalu deterministik ekonomi, akan tetapi pada perkembangannya struktur politiklah (tentang kekuasaan) yang dominan membentuk klas sosial (yang berkuasa dan dikuasai).
Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superordinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat. Dalam konflik agraria hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi terjadi karena adanya dominasi atas penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh kelompok superodinat yang menyebabkan kelompok subordinat terabaikan dari hak-haknya.
2.                       Perlawanan Petani dalam Konflik Agraria di Indonesia
Berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai oleh orang Belanda. Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh petani. Dengan adanya hal itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pertanahan.
Kebijakan pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan. Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis.
UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Hal ini disebabkan munculnya sejumlah undang-undang lain yang justru bertentangan dengan UUPA diterapkan, Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hakhak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para pemilik modal (Fauzi, 1999: 158).
Akibatnya yang terjadi adalah rakyat kecil kehilangan tanah oleh mereka yang memiliki modal yang sekarang menjadi oligarki politik. Mereka adalah yang punya uang atau yang punya politik, jadi tidak ada yang berjuang untuk rakyat. Pada masa Orde Baru pemerintah telah menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria. Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan adalah realitas sosial yang menyedihkan dan memiskinkan petani. Pemerintah terus menyetujui pembangunan perkebunan yang harus merampas tanah-tanah hak ulayat rakyat di berbagai daerah.
Akibat dari kebijakan pemerintah tentang pembangunan perkebunan telah memarjinalkan pengelolaan sumber-sumber agraria oleh komunitas lokal yang berbasis hukum adat dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada kepentingan komunitas lokal yang dijalankan dengan cara tertentu, perilaku aparat negara dalam mengelola pembangunan dan perilaku bisnis yang mengeyampingkan aspirasi dan hak komunitas lokal maka terjadilah perlawanan penduduk atau komunitas lokal untuk menuntut hak-hak agraria mereka.
Tuntutan-tuntutan itu berupa tuntutan atas rasa keadilan oleh penduduk atau komunitas lokal yang tanahnya diambil secara paksa atau diklaim sebagai tanah milik pemerintah dengan cara-cara kekerasan atau dengan cara-cara yang tidak menghargai masyarakat sebagai subjek dalam hal ini penduduk atau komunitas lokal yang telah lama memiliki tanah tersebut, atau sebagai kelompok yang mempunyai kepentingan yang harus dilindungi oleh aparatur negara atau bisnis. Hal inilah yang membuat banyak petani di Indonesia melakukan protes-protes atau perlawanan semenjak bergulirnya reformasi untuk menuntut hak mereka terhadap tanah yang telah lama dukuasai oleh perusahaan atau pemerintah.
Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang seringkali memunculkan perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.
Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott (2000:40) sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang, mencuri kecil-kecilan, dan sebagainya.
Perlawanan petani yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia juga menggejala di Sulawesi Tengah. Sejak sebelum reformasi perlawanan dan resistensi petani yang menandai konflik agraria di daerah ini paling tidak berkaitan dengan tiga isu utama yaitu, pertama, penguasaan tanah perkebunan yang sukup luas oleh perusahaan swasta. Kedua, penguasaan hutan oleh perusahaan swasta yang memperoleh hak penguasaan hutan (HPH) dari pemerintah. Ketiga, alih fungsI lahan pertanian ke-non pertanian yang biasanya dilakukan dengan cara-cara paksaan, intimidasi, dan ganti rugi yang tidak layak. Baik penguasaan tanah perkebunan, maupun panguasaan hutan serta alih fungsi lahan cenderung menjauhkan akses petani terhadap sumbersumber daya agrarian tersebut (Rasyid, 2004)
Budianto (2015) dalam penelitianya tentang perlawanan petani dalam konflik agraria antara masyarakat Takalar dengan PTPN XIV menyatakan bahwa konflik agraria di Kabupaten Takalar merupakan sengketa atas lahan yang diklaim oleh masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) sebagai pemiliknya atas dasar kepemilikan dan penguasaan secara turun temurun serta batas waktu kontrak 25 tahun yang dipahami oleh mereka terhitung sejak tahun 1980. Di lain sisi, pihak PTPN XIV menguasai lahan dengan dasar kepemilikan hak guna usaha (HGU). Selain dasar klaim kepemilikan yang menyebabkan perlawanan petani terhadap penguasaan lahan oleh PTPN XIV, faktor yang turut mendorong perlawanan petani, yaitu faktor sosial ekonomi karena sejak penguasaan lahan oleh PTPN XIV, sangat banyak dampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Selanjutnya Weber (dalam Ritzer, 2007) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya kepada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Keadaan ini yang kemudian akan mmenimbulkan kondisi yang sering kali berujung pada tindakan kekerasan.
Bagi masyarakat atau penduduk setempat, mereka melakukan aksi-aksi kolektif untuk mempertahankan tanah yang mereka miliki, untuk menuntu ganti rugi yang layak, untuk menuntut royalti atau pembayaran tetap atas tanah ulayat mereka yang dipakai oleh bisnis untuk keperluan akumulasi kapital, dan untuk menagih janji perusahaan dan pemerintah. Aparat pemerintah dan manejemen perusahaan cenderung memakai cara sederhana dan cepat untuk memecahkan masalah, dengan cara melakukan aksi-aksi kekerasan dengan melibatkan pihak keamanan polisi dan tentara.
Lucas dalam Afrizal mengatakan bahwa Fenomena konflik agraria di Indonesia sebagai fenomena yang penuh dengan penindasan dan kekerasan (2006:15). Hal inilah yang membuat aktivis-aktivis lokal protes agraria melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan. Namum usaha-usaha damai yang dilakukan oleh masyarakat tidak ditanggapi oleh pihak pemerintah atau perusahaan.

PENUTUP
Kesimpulan :
Berdasarkan uraian diatas kita simpulkan bahwa Sengketa tanah dapat terjadi akibat adanya keinginan untuk menguasai sumber daya tanah. Selain itu ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah untuk kepentingan tertentu sehingga terjadilah Konflik agraria dan perebutan tanah adat, bahkan konflik agraria saat ini semakin massif dengan fenomena yang semakin menonjol adalah pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek perusahaan swasta dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya konflik agraria dan sengketa tanah adat merupakan sumber daya yang selalu mengorbankan rakyat secara terus menerus. Adapun bentuk perlawanan masyarakat yaitu dengan melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan.

Saran :
Dari pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis kiranya penting memberikan saran dalam tulisan ini sebagai masukan dalam mencegah atau menghadapi konflik yang terjadi. Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.        Kepada seluruh elemen terkait khususnya institusi pemerintahan mulai dari pemerintah Kabupaten Sinjai , Provinsi Sul-Sel hingga Nasional, agar dapat mempertimbangkan situasi objektif tuntutan masyarakat . Hal ini ditujukan agar dapat menemukan satu resolusi konflik yang berkeadilan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik tersebut
2.        Kepada pihak Pemerintah agar dapat meningkatkan perhatian terhadap problem-problem masyarakat sekitar, terutama pada persoalan kebutuhan masyarakat, dukungan terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarkatan serta instansi pemerintahan desa dan kecamatan setempat.
3.        Diharapkan kepada seluruh pimpinan organisasi STP agar dapat mengkoordinasikan seluruh anggota masyarkat yang dinaungi oleh organisasi. Hal ini ditujukan untuk lahirnya sinergitas antara kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam solusi yang akan dihasilkan agar tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Kontemporer. Andalas: University Press.
Budianto. 2015. Perlawanan Petani dalam Konflik Agraria: Studi Kasus Konflik Agraria Masyarakat Takalar dengan PTPN XIV di Kabupaten Takalar. Tesis Pascasarjana UNHAS
Noer, Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Politik Agraria di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Ruwiastuti, Maria Rita. 2000. Sesat Pikir: Politik Hukum Agraria. Yogyakarta: INSIST Press dan PUSTAKA PELAJAR. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah, bentuk perlawanan sehari-hari kaum tani. terj. A. Rahman Zainuddin dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suardin ABD. Rasyid. 2004. Penguasaan Tanah Perkebunan dan Perlawanan Petani; (Kasus Dua Desa di Sulawesi Tengah). Tesis, Pascasarjana UNHAS. Soeripto, Sri Rahayu, 2007. Penggunaan Tanah adat Untuk Kepentingan Pembangunan di Kecamatan Langowan Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara. Tesis Universitas Diponegoro Semarang. Jurnal Supriyanto. Implementasi Kebijakan Pertanahan. Jurnal Dinamika Hukum ( Di akses 21 April 2015) http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik (dakses Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar