PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada
umat manusia. Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan
produksi setiap fase peradaban umat manusia. Di mana tanah menjadi kebutuhan
dasar bagi manusia. Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna yang
multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi
yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat
menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga,
sebagai budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan
masalah-masalah transedental (Heru Nugroho, 2005 dalam Supriyanto, 2008: 1).
Berdasarkan uraian di atas maka tanah memiliki makna
yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris. Oleh
karena itu setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak
heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu
berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Menyadari nilai dan arti penting tanah bagi kehidupan
manusia, maka para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan
tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis
substansial di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), yakni: ”Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini menandakan bahwa negara
memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya dengan
melakukan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya secara adil. Namun
amanat tersebut nampaknya saat ini sangat jauh untuk terpenuhi sebagaimana yang
diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Meski tanah di negara-negara agraris merupakan
kebutuhan dasar, namun ternyata struktur kepemilikan tanahnya masih timpang.
Sehingga tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak
henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Di satu
pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah
secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali
tidak memiliki tanah. Ketimpangan atas pemilikan tanah inilah yang sering
menimbulkan permasalahan tanah di negara agraria khusunya Indonesia yang
menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya konflik agraria.
Bagi masyarakat Indonesia ketimpangan atas kepemilikan
tanah masih kontraks terutama dalam hal pembangunan. Dimana, perkembangan
masyarakat yang cukup pesat dan kebutuhan yang semakin meningkat tidak
sebanding dengan luas tanah yang tidak pernah bertambah. Ketimpangan ini sangat
kontras dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang rata-rata masih berada di
bawah angka kemiskinan. Kenyataan ini tidak dapat dihindari karena tanah
merupakan aset ekonomi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan bagi pemiliknya
juga merupakan aset politik dalam pengambilan keputusan dimasyarakat. Tidak
heran jika sekarang tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga
memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber
daya yang ada didalamnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap
sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik agraria.
Selain konflik agraria, perebutan tanah adat terus
terjadi dan masih terus berlangsung sampai sekarang ini. Ruwiastuti (2000)
menyatakan bahwa sengketa-sengketa agraria yang melibatkan kelompok-kelompok
masyarakat adat setempat di seluruh Indonesia adalah persengketaan mengenai
penguasaan sumber-sumber ekonomi dan berpangkal pada budaya sehari-hari
diyakini dan dijamin sebagai hak-hak adat mereka, seperti hutan-hutan
perburuan, hutan-hutan belukar bekas ladang, padang-padang pegembalaan ternak,
dan ladang-ladang tanaman semusim.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok
masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.
Mengapa terjadi Sengketa
Tanah Adat antara masyarakat dengan Pemerintah Kab. Sinjai?
2.
Bagaimana bentuk
perlawanan masyarakat terhadap Pemerintah dalam sengketa Tanah adat di Kab.
Sinjai?
PEMBAHASAN
1.
Sengketa Tanah Adat di
Indonesia
Undang-Undang
Pokok Agraria tahun 1960 dalam Pasal 5 : Menyatakan bahwa, Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, ialah hukum adat. Dan dalam pasal 17
adanya pengakuan sistim kepemilikan tanah secara bersama/komunal, namun
pemberlakuan hukum adat tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan bangsa artinya, bila kepentingan bangsa menghendaki, hukum adat
dapat saja dikalahkan. Dalam hal ini perubahan masyarakat hukum adat
dipengaruhi oleh politik hukum pemerintah, tanpa dipengaruhi hukum pun
masyarakat akan mengalami perubahan baik secara cepat maupun secara lambat
artinya tidak ada ataupun masyarakat yang statis (berhenti) pada suatu titik
tertentu di dalam perkembangannya.
Konsep
penguasaan tanah dalam sistem ini berdasarkan hak ulayat, yaitu suatu hak
masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar serta
ke dalam. Dalam cakupan hak ulayat ini terdapat hak individual atas tanah yaitu
hak yang lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas
sebidang tanah (kosong). Hubungan antara hak ulayat ( yang dimimiliki oleh
masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan ) dengan hak individual merupakan hubungan
yang lentur/fleksibel (Afrizal, 2006).
Bagi
masyarakat tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang bersifat kekal karena
tidak akan musnah dalam keadaan apapun, di samping itu tanah berfungsi sebagai
tempat tinggal bagi warga masyarakat dan tempat mereka mencari kehidupan dan
sebagai tempat nantinya di mana mereka akan dikuburkan kalau meninggal dunia.
Oleh karena itu tanah adat erat kaitanya dengan kewenangan dari masyarakat adat
itu sendiri untuk menguasai tanah adat (tanah ulayat) tersebut. Karena tanah
memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus
masyarakat agraris, maka setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya.
Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak
henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Fenomena
yang terjadi saat ini di masyarakat bahwa memang banyak terjadi masalahmasalah
sosial seperti adanya sengketa tanah. Sengketa tanah ini terjadi dalam tiga
golongan yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis (pengusaha). Mereka
memperebutkan sumber-sumber agraria yang dapat berupa lahan , bahan tambang,
dan sumber air. Perebutan tersebut menampilkan isu-isu hak-hak masyarakat
setempat terhadap sumber-sumber agraria berlawanan dengan hak-hak negara.
Masing-masing
pihak mengklaim bahwa sumber-sumber agraria milik mereka. Hal itulah
mengakibatkan terjadinya perlawanan antara masyarakat setempat dengan
pemeritah. Dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa tersebut harus
dilakukan dengan cara tidak saling dirugikan atau diuntungkan salah satu pihak,
baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat atau singkatnya harus
menemukan solusi yang baik dari berbagai pihak. Namun fakta yang terjadi
dilapangan bahwa perebutan tanah tersebut akan dimenangkan oleh pihak yang
memiliki modal atau berkuasa.
Sengketa
tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa administratif, sengketa
perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi pendaftaran,
penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak pidana menjadi sengketa
yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian sengketa tanah meningkat
menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering
berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah
sumber utama ketegangan.
Wilayah
sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan
tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di berbagai
kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal,
pengembang perumahanperumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah.
UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda
yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk
kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat
gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Penggusuran
tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan negara atas nama
pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan kepentingan
individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut biasanya
dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak adil
bagi pemilik tanah.
Hasil
penelitian Suardi (2004) menunjukkan bahwa adanya konflik agraria yang terjadi
dilatarbelakangi oleh keadaan yang dia jelaskan sebagai berikut; pertama,
terjadi ketimpangan penguasaan tanah yang cukup tajam pada dua desa penelitian.
Kedua, perlawanan petani muncul yang disebabkan beberapa faktor; (a) kebijakan
disektor perkebunan yang cenderung lebih menguntungkan pemilik modal besar, (b)
kapitalisasi sektor perkebunan menyebabkan disatu pihak terakumulasinya tanah
di bawah penguasaan pemilik modal besar, di sisi lain petani menjadi
termarginalkan, (c) kondisi social ekonomi petani yang buruk karena tanah
sebagai sumber mendapatkan nafkah hidup penguasaannya didominasi oleh
sekelompok kecil pemilik modal. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan \ bahwa
perlawanan petani di dua Desa didasari keinginan melepaskan diri dari keadaanya
yang subsistens akibat ketidakadilan struktur agrarian dalam rangka memperbaiki
dan meningkatkan taraf hidupnya.
Sengketa,
konflik dan perkara pertanahan sepertinya tidak pernah surut, bahkan cenderung
terus meningkat baik intensitas maupun keragamannya, seiring dengan semakin
sulitnya akses untuk memiliki tanah dan bertambahnya kesenjangan posisi
tawar-menawar antara ketiga aktor pembangunan yakni pemerintah, swasta dan
masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
Penyebab
permasalahan tentang sengketa tanah tidak tuntas atau tidak terselesaikan di
karenakan penanganan persoalan yang kurang tepat atau tidak tuntas pada masa
yang lalu. Di samping kenaikan harga tanah yang meningkat menimbulkan banyak
pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tanpa didukung oleh bukti
kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi bertambah rumit bila ada
campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Masalah akan sulit diselesaikan
apabila para pihak merasa paling benar dan tidak mau bermusyawarah.
Di
tambah lagi sebagian besar persoalan yang muncul berkaitan dengan kasus-kasus
pertanahan (khususnya tanah perkebunan) di seluruh Indonesia disebabkan adanya
kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa perkebunan dengan
masyarakat yang bermukim di sekitarnya dan disertai adanya intervensi negara
yang masih dominan didukung pula dengan perlakuan yang represif dari militer
dengan dalih “demi dan atas nama” stabilitas nasional.
Kondisi
sebagaimana gambaran di atas sebenarnya bukan suatu hal yang baru tetapi
merupakan sebuah problem yang sudah lama ada, akan tetapi baru pada saat
sekarang ini nampak mengedepan, karena faktor kebebasan dan euphoria yang
berlebihan dari perubahan rezim yang awalnya otoriter ke rezim yang lebih
longgar.
Sejak
diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusya problem
pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya menyisakan problem
yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang, yakni pertama, masih
cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini belum ada penjabaran
yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah. Kedua, ada juga UU
pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999 (LN. 167 tahun 1999),
yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan besar loging kayu hutan alami
dimana jelas ada intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari
masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh penduduk pribumi (woeste
gronden)( Pelzer, 1991:10).
Oleh
karena itu, dalam pandangan teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat
tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun
pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan ketegangan. Kemudian teori
konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat.
Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas
yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan
antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya
perbedaan kepentingan (Wikipedia, 2015)).
Teori
konflik menegaskan bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dan menjadi faktor
yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat, meskipun terdapat sedikit
perbedaan pandangan di antara beberapa tokoh. Dahrendorf meskipun menerima
teori konflik Karl Marx mengenai pertentangan klas sebagai satu bentuk konflik
dan sebagai sumber perubahan sosial. Namun dia memodifikasinya berdasarkan
perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dahrendorf
mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan klas, sebagai pengganti
konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan klas itu. Menurut
Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan
menyediakan unsur bagi kelahiran klas. Klas yang dimaksud adalah klas yang
berkuasa dan dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa pertentangan kelompok
mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai
legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan (Wikipedia 2015).
Dahrendorf
melihat bahwa terbentuknya klas sosial tidak selalu deterministik ekonomi, akan
tetapi pada perkembangannya struktur politiklah (tentang kekuasaan) yang
dominan membentuk klas sosial (yang berkuasa dan dikuasai).
Ketika
satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu
melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan
yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang
menguasai disebut sebagai superordinat dan kelompok yang dikuasai sebagai
subordinat. Dalam konflik agraria hubungan antar orang atau kelompok yang
terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
permukaan maupun di dalam perut bumi terjadi karena adanya dominasi atas
penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh kelompok superodinat yang
menyebabkan kelompok subordinat terabaikan dari hak-haknya.
2.
Perlawanan Petani dalam
Konflik Agraria di Indonesia
Berakhirnya
pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa
Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mendapatkan kembali
tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai oleh orang Belanda.
Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi
terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah
yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh petani. Dengan adanya
hal itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pertanahan.
Kebijakan
pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan.
Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi
sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap
fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya.
Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini
berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan
yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada
kepentingan kapitalis.
UUPA
tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang
berlaku di bidang agraria. Hal ini disebabkan munculnya sejumlah undang-undang
lain yang justru bertentangan dengan UUPA diterapkan, Berlakunya undang-undang
ini menyebabkan hakhak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak
ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para
pemilik modal (Fauzi, 1999: 158).
Akibatnya
yang terjadi adalah rakyat kecil kehilangan tanah oleh mereka yang memiliki
modal yang sekarang menjadi oligarki politik. Mereka adalah yang punya uang
atau yang punya politik, jadi tidak ada yang berjuang untuk rakyat. Pada masa
Orde Baru pemerintah telah menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan
program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan
Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan
intensitas konflik agraria. Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan adalah
realitas sosial yang menyedihkan dan memiskinkan petani. Pemerintah terus
menyetujui pembangunan perkebunan yang harus merampas tanah-tanah hak ulayat
rakyat di berbagai daerah.
Akibat
dari kebijakan pemerintah tentang pembangunan perkebunan telah memarjinalkan
pengelolaan sumber-sumber agraria oleh komunitas lokal yang berbasis hukum adat
dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada kepentingan komunitas
lokal yang dijalankan dengan cara tertentu, perilaku aparat negara dalam
mengelola pembangunan dan perilaku bisnis yang mengeyampingkan aspirasi dan hak
komunitas lokal maka terjadilah perlawanan penduduk atau komunitas lokal untuk
menuntut hak-hak agraria mereka.
Tuntutan-tuntutan
itu berupa tuntutan atas rasa keadilan oleh penduduk atau komunitas lokal yang
tanahnya diambil secara paksa atau diklaim sebagai tanah milik pemerintah
dengan cara-cara kekerasan atau dengan cara-cara yang tidak menghargai
masyarakat sebagai subjek dalam hal ini penduduk atau komunitas lokal yang
telah lama memiliki tanah tersebut, atau sebagai kelompok yang mempunyai
kepentingan yang harus dilindungi oleh aparatur negara atau bisnis. Hal inilah
yang membuat banyak petani di Indonesia melakukan protes-protes atau perlawanan
semenjak bergulirnya reformasi untuk menuntut hak mereka terhadap tanah yang
telah lama dukuasai oleh perusahaan atau pemerintah.
Konflik
perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih
menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah
tanah masih saja menjadi persoalan yang seringkali memunculkan perlawanan
rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga bermacam-macam, baik bersifat
individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan
pemberontakan.
Salah
satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut
James Scott (2000:40) sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of
resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang
biasa-biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan
orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa,
dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk
aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang
dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak
perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah
terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang
dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk
perlawanan ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di
belakang, mencuri kecil-kecilan, dan sebagainya.
Perlawanan
petani yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia juga menggejala di Sulawesi
Tengah. Sejak sebelum reformasi perlawanan dan resistensi petani yang menandai
konflik agraria di daerah ini paling tidak berkaitan dengan tiga isu utama
yaitu, pertama, penguasaan tanah perkebunan yang sukup luas oleh perusahaan
swasta. Kedua, penguasaan hutan oleh perusahaan swasta yang memperoleh hak
penguasaan hutan (HPH) dari pemerintah. Ketiga, alih fungsI lahan pertanian
ke-non pertanian yang biasanya dilakukan dengan cara-cara paksaan, intimidasi,
dan ganti rugi yang tidak layak. Baik penguasaan tanah perkebunan, maupun
panguasaan hutan serta alih fungsi lahan cenderung menjauhkan akses petani
terhadap sumbersumber daya agrarian tersebut (Rasyid, 2004)
Budianto
(2015) dalam penelitianya tentang perlawanan petani dalam konflik agraria
antara masyarakat Takalar dengan PTPN XIV menyatakan bahwa konflik agraria di
Kabupaten Takalar merupakan sengketa atas lahan yang diklaim oleh masyarakat
yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) sebagai pemiliknya atas
dasar kepemilikan dan penguasaan secara turun temurun serta batas waktu kontrak
25 tahun yang dipahami oleh mereka terhitung sejak tahun 1980. Di lain sisi,
pihak PTPN XIV menguasai lahan dengan dasar kepemilikan hak guna usaha (HGU).
Selain dasar klaim kepemilikan yang menyebabkan perlawanan petani terhadap
penguasaan lahan oleh PTPN XIV, faktor yang turut mendorong perlawanan petani,
yaitu faktor sosial ekonomi karena sejak penguasaan lahan oleh PTPN XIV, sangat
banyak dampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Selanjutnya
Weber (dalam Ritzer, 2007) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan
kehendaknya kepada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan.
Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa
tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah
mereka. Keadaan ini yang kemudian akan mmenimbulkan kondisi yang sering kali
berujung pada tindakan kekerasan.
Bagi
masyarakat atau penduduk setempat, mereka melakukan aksi-aksi kolektif untuk
mempertahankan tanah yang mereka miliki, untuk menuntu ganti rugi yang layak,
untuk menuntut royalti atau pembayaran tetap atas tanah ulayat mereka yang
dipakai oleh bisnis untuk keperluan akumulasi kapital, dan untuk menagih janji
perusahaan dan pemerintah. Aparat pemerintah dan manejemen perusahaan cenderung
memakai cara sederhana dan cepat untuk memecahkan masalah, dengan cara
melakukan aksi-aksi kekerasan dengan melibatkan pihak keamanan polisi dan
tentara.
Lucas
dalam Afrizal mengatakan bahwa Fenomena konflik agraria di Indonesia sebagai
fenomena yang penuh dengan penindasan dan kekerasan (2006:15). Hal inilah yang
membuat aktivis-aktivis lokal protes agraria melakukan aksi-aksi yang bertahap
untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara
atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut
haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat
dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan.
Namum usaha-usaha damai yang dilakukan oleh masyarakat tidak ditanggapi oleh
pihak pemerintah atau perusahaan.
PENUTUP
Kesimpulan :
Berdasarkan
uraian diatas kita simpulkan bahwa Sengketa tanah dapat terjadi akibat adanya
keinginan untuk menguasai sumber daya tanah. Selain itu ada pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan tanah untuk kepentingan tertentu sehingga terjadilah Konflik
agraria dan perebutan tanah adat, bahkan konflik agraria saat ini semakin
massif dengan fenomena yang semakin menonjol adalah pengadaan tanah dalam skala
besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek
perusahaan swasta dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya
konflik agraria dan sengketa tanah adat merupakan sumber daya yang selalu
mengorbankan rakyat secara terus menerus. Adapun bentuk perlawanan masyarakat
yaitu dengan melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan
mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti
melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan
menemui langsung para pejabat yang bersangkutan.
Saran
:
Dari
pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis kiranya penting memberikan saran
dalam tulisan ini sebagai masukan dalam mencegah atau menghadapi konflik yang
terjadi. Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Kepada seluruh elemen
terkait khususnya institusi pemerintahan mulai dari pemerintah Kabupaten Sinjai
, Provinsi Sul-Sel hingga Nasional, agar dapat mempertimbangkan situasi
objektif tuntutan masyarakat . Hal ini ditujukan agar dapat menemukan satu
resolusi konflik yang berkeadilan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam
konflik tersebut
2.
Kepada pihak Pemerintah
agar dapat meningkatkan perhatian terhadap problem-problem masyarakat sekitar,
terutama pada persoalan kebutuhan masyarakat, dukungan terhadap
kegiatan-kegiatan kemasyarkatan serta instansi pemerintahan desa dan kecamatan
setempat.
3.
Diharapkan kepada seluruh
pimpinan organisasi STP agar dapat mengkoordinasikan seluruh anggota masyarkat
yang dinaungi oleh organisasi. Hal ini ditujukan untuk lahirnya sinergitas
antara kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam solusi yang akan dihasilkan
agar tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik
Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Kontemporer. Andalas:
University Press.
Budianto. 2015. Perlawanan Petani
dalam Konflik Agraria: Studi Kasus Konflik Agraria Masyarakat Takalar dengan
PTPN XIV di Kabupaten Takalar. Tesis Pascasarjana UNHAS
Noer, Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa:
Dinamika Politik Agraria di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pelzer, Karl
J. 1991. Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan Ruwiastuti, Maria Rita. 2000. Sesat Pikir: Politik Hukum
Agraria. Yogyakarta: INSIST Press dan PUSTAKA PELAJAR. Ritzer, George dan
Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta. Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah,
bentuk perlawanan sehari-hari kaum tani. terj. A. Rahman Zainuddin dkk.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suardin ABD. Rasyid. 2004. Penguasaan Tanah
Perkebunan dan Perlawanan Petani; (Kasus Dua Desa di Sulawesi Tengah). Tesis,
Pascasarjana UNHAS. Soeripto, Sri Rahayu, 2007. Penggunaan Tanah adat Untuk
Kepentingan Pembangunan di Kecamatan Langowan Kabupaten Minahasa Propinsi
Sulawesi Utara. Tesis Universitas Diponegoro Semarang. Jurnal Supriyanto. Implementasi
Kebijakan Pertanahan. Jurnal Dinamika Hukum ( Di akses 21 April 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik (dakses Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar