1.
ASPEK HUKUM DALAM
INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
Bidang
Jasa Konstruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda
pembangunan nasional. Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana
pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hokum agar terjadi
situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini telah sesuai
dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 tahun 2000 serta
peraturan perundang – undangan lain yang terkait. Sebagaimana diketahui bahwa
UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas: kejujuran dan keadilan, asas manfaat,
asas keserasian, asas keseimbangan, asa keterbukaan, asas kemitraan, kemanan
dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 2 UU Nomor
18 Tahun 1999).
Selanjutnya
pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
1.
Memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha
yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang
berkualitas.
2.
Mewujudkan tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan
kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3.
Mewujudkan peningkatan peran
masyarakat di bidang jasa konstruksi.
1.1
ASPEK HUKUM DALAM JASA
KONSTRUKSI
Pada
pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
1.
Keperdataan
Menyangkut tentang sahnya
suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang
memenugi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan
kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.
Administrasi Negara
Menyangkut tantanan
administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan
peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang konstruksi.
3.
Ketenagakerjaan
Menyangkut tentang aturan
ketenagakerjaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
4.
Pidana
Menyangkut tentang tidak
adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
1.3
KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
Suatu
kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang – kurangnya harus mencakup uraian
adanya:
1.
Para pihak.
2.
Isi atau rumusan
pekerjaan
3.
Jangka pertanggungan atau
pemeliharaan
4.
Tenaga ahli
5.
Hak dan kewajiban para
pihak.
6.
Tata cara pembayaran.
7.
Cidera janji.
8.
Penyelesaian tentang
perselisihan
9.
Pemutusan kontrak kerja
konstruksi
10. Keadaan
memaksa
11. Tidak
memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12. Perlindungan
tenaga kerja
13. Perlindungan
aspek lingkungan
1.4
PERATURAN PERUNDANG –
UNDANGAN DALAM JASA KONSTRUKSI
1.
Undang-Undang
No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2.
PP No.28
Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3.
PP No.29
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
4.
PP No.30
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
5.
Kepres RI No.
80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
berikut perubahannya
6.
Kepmen
KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa
Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
7.
Surat Edaran
Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi
Pemerintah Tahun Anggaran 2006
8.
Peraturan
Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi
Asing
9.
dan
peraturan-peraturan lainnya
2.
KONTRAK FIDIC (FEDERATION
INTERNATIONALE DES INGENIEUR CONSELLS)
FIDIC singkatan dari Federation International Des
Ingesniieurs Conseils (International Federation of Consulting Engineers). Sebuah
organisasi asosiasi para konsultan seluruh dunia yang didirikan pada tahun 1913
oleh Negara Perancis, Belgia, dan Swiss, pusatnya berkedudukan di Lausanne,
Swiss. Dari organisasi yang anggotanya Eropa, FIDIC berkembang setelah Perang
Dunia II ditandai dengan bergabungnya Inggris pada tahun 1949 disusul Amerika
Serikat pada tahun 1958. Era 70-an Negara-negara anggota NIC (Newly
Industrialized Countries) yang akhirnya membuat organisasi internasional.
Tahun 1999 FIDIC menerbitkan format standar kontrak
yaitu:
1.
Condition Contract for
Construction
2.
Condition of Contract Design-Build
3.
Condition of Contract for
EPC/ Turnkey Project
4.
Short Form Contract
Pemakaian FIDIC sebagai standar pembuatan kontrak
tidaklah mutlak. Namun, dapat dimodifikasi dan disesuaikan sesuai peraturan
Negara setempat dan kebijakan pihak yang bersepakat.
Menurut FIDIC “the Construction Contract” edisi 1999,
Dokumen Kontrak terdiri dari:
1.
Contract Agreement
2.
Letter of Acceptance/
Award
3.
For/Letter of Tender
4.
Condition of Contract
5.
Specification
6.
Drawings
7.
Schedules
8.
Appendix to Tender
9.
Bill of Quantity and
Daywork Schedule
10.
Dan dokumen-dokumen lain
yang termasuk dalam Contract
3.
KLAIM KONTRAK
Klaim
adalah permintaan mengenai biaya, waktu dan kompensasi penampilan atau sesuatu
yang telah ditetapkan dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam suatu
kontrak konstruksi. Ada yang mengartikan klaim sebagai tuntutan, yang
berkonotasi negatif padahal klaim dalam pelaksanaan konstruksi adalah suatu hal
yang wajar walaupun terdapat juga klaim yang harus diselesaikan lewat
pengadilan dan arbitrase.
3.1
Katagori Klaim
3.1.1
Dari penyedia jasa Konstruksi
terhadap pengguna jasa:
a.
Tambahan waktu pelaksana
b.
Tambahan kompensasi
c.
Tambahan konsesi
pengurangan spesifikasi teknis dan bahan
3.1.2
Dari pengguna jasa
terhadap penyedia jasa:
a.
Pengurangan nilai kontrak
b.
Percepatan waktu
c.
Kompensasi atau kelalaian
3.2
Sebab – sebab timbulnya
klaim
Sesungguhnya
dengan mengetahui sebab-sebab dari suatu klaim, para pihak selaku pelaksana
industri jasa konstruksi dengan pikiran jernih dapat menempatkan masalah klaim
secara wajar dan proporsional dan tak perlu merasa canggung atau alergi.
Menurut
Robert D. Gilbreath, sebab-sebab terjadinya klaim adalah sebagai berikut:
1.
Pekerjaan yang cacat.
Para
pengguna jasa yang tidak puas dengan apa yang dihasilkan penyedia jasa dapat
mengajukan klaim atas kerugian termasuk biaya perubahan, penggantian atau
pembongkaran pekerjaan yang cacat. Dalam banyak -2- kejadian, pekerjaan yang
tidak diselesaikan sesuai dengan spesifikasi yang disebut dalam kontrak atau
hal lain yang tidak cocok dengan maksud yang ditetapkan. Kadang-kadang
barang-barang atau jasa yang diminta tidak sesuai dengan garansi/jaminan yang
diberikan penyedia jasa atau pemasok bahan.
2.
Kelambatan yang
disebabkan penyedia jasa.
Jika
penyedia jasa berjanji melaksanakan pekerjaan tersebut, dalam waktu yang telah
ditetapkan, pengguna jasa dapat mengajukan klaim atas kerugian bila
keterlambatan tersebut disebabkan penyedia jasa atau dalam kejadian lain,
bahkan jika keterlambatan tersebut diluar kendali dari penyedia jasa.
Jenis-jenis klaim kerugian dalam hal ini adalah kehilangan kesempatan
penggunaan dari fasilitas tersebut, pengaruh reaksi terhadap penyedia jasa lain
dan kenaikan biaya dari pekerjaan lain yang terlambat.
3.
Sebagai klaim tandingan.
Para
pengguna jasa yang menghadapi klaim-klaim para penyedia jasa dapat membalasnya
dengan klaim tandingan. Klaim tandingan biasanya menyerang atau berusaha
memojokan/mendiskreditkan unsure-unsur asli dari klaim penyedia jasa, dengan
membuka hal-hal yang tumpang tindih atau perangkap kerugian biaya atau
menyebutkan perubahan-perubahan atau pasal-pasal klaim dalam kontrak yang
melarang atau modifikasi dari tindakan-tindakan penyedia jasa dalam hal
terjadinya sengketa. Kebanyakan klaim yang ditemukan dalam proyek konstruksi
datang dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa karena satu dan lain sebab.
Perubahanperubahan tidak resmi adalah sebagai berikut:
·
Kelambatan atau cacat
informasi dari pengguna jasa biasanya dalam bentuk gambar-gambar atau
spesifikasi teknis.
·
Kelambatan atau cacat
informasi dari bahan-bahan atau peralatan yang diserahkan pengguna jasa.
·
Perubahan-perubahan
permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.
·
Perubahan-perubahan
kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak diketahui.
·
Pengaruh reaksi dari
pekerjaan yang tidak bersamaan.
·
Larangan-larangan metode
kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan pelaksanaan pekerjaan
penyedia jasa.
·
Kontrak yang memiliki
arti mendua atau perbedaan penafsiran.
3.3
Jenis-jenis klaim
a.
Klaim tambahan biaya dan
waktu
Diantara beberapa
jenis klaim, akan ditinjau 2 (dua) jenis klaim yang sering terjadi yaitu klaim
yang timbul akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Klaim jenis ini
biasanya mengenai permintaan tambahan waktu dan tambahan biaya.
b.
Klaim biaya tak langsung
(Overhead)
Selain itu
terdapat pula jenis klaim lain sebagai akibat kelambatan tadi, klaim atas biaya
tak langsung (overhead). Penyedia jasa yang terlambat menyelesaikan suatu
pekerjaan karena sebab-sebab dari pengguna jasa, meminta tambahan biaya
overhead dengan alasan biaya ini bertambah karena pekerjaan belum selesai.
c.
Klaim tambahan waktu
(tanpa tambahan biaya)
Walaupun klaim
kelembatan kelihatannya sederhana saja, namun dalam kenyataannya tidak
demikian. Misalnya penyedia jasa hanya diberikan tambahan waktu pelaksanaan
tanpa tambahan biaya karena alasan-alsan tertentu.
d.
Klaim kompensasi lain
Dilain kejadian
penyedia jasa selain mendapatkan tambahan waktu mendapatkan pula kompensasi
lain.
4.
DISPUTE
(SENGKETA) KONSTRUKSI
Sengketa
konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu
usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak
konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. Sengketa
konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang
menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase
atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004, Mengenal
Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi).
Sengketa
konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya
keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan
penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari
para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna
jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan
mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup. Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan
tindakan cidera (wanprestasi atau default).
4.1
Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian
sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa
yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan
penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam hal ini
pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai
Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 3.
4.1.1
Penyelesaian Sengketa
Melalui Pengadilan
Penyelesaian
sengketa melalu pengadilan, kurang disukai dan diminati oleh para pelaku jasa
konstruksi karena waktu penyelesaiannya terlalu lama, apalagi bila terjadi
Peninjauan Kembali. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr.Sudargo Gautama dalam
bukunya Undang Undang Arbitrase Baru, 1999 hal 2-4 sebagai berikut:
Dunia
dagang, terutama Internasional selalu ”takut” untuk berperkara dihadapan
badan-badan peradilan. Ini berlaku untuk tiap sistem negara, baik negara yang
maju maupun masih berstatus negara berkembang. Para pedagang umumnya takut untuk
berperkara bertahun-tahun lamanya. Keadaan ini dirasakan disemua negara. Tetapi
lebih-lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara kita, berperkara bisa
berlarut-larut, artinya bisa bertahun-taun lamanya.
4.1.2
Penyelesaian Sengketa
Melalui Airbitse
Arbitrase
merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus
diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk
sebagai berikut (Harahap, Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991).
a.
Perbedaan penafsiran
(disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa:
·
Kontroversi pendapat
(controversy);
·
Kesalahan pengertian
(misunderstanding);
·
Ketidaksepakatan
(disagreement);
b.
Pelanggaran perjanjian
(breach of contract), termasuk di dalamnya adalah:
·
Sah atau tidaknya kontrak
·
Berlaku atau tidaknya
kontrak
c.
Pengakhiran kontrak (termination
of contract)
d.
Klaim mengenai ganti rugi
atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar